Rabu, 06 Januari 2010

Seni itu membunuh!!


"Ah.. kalo mau kaya, jangan sekali2 suka seni atau sekolah di bidang seni, kau akan tau nasibmu setelah khalayak meninggalkanmu dengan alasan seni itu murah!!!"
masih aku ingat kata seorang buruh packing di sebuah perusahaan negara yang bergeraak di bidang perposan. Baru beberapa bulan memang dia bekerja disana, namun aku sering bertukar pikiran tentang seni justru dengan si bapak ini. Dia mulai di pakai oleh kantorku karena memang hasil packingnya rapi dan kuat.
Perkenalan kami membawa sebuah percakapan yan membuka nalar dan rasa seni yang menjangkit di jiwaku selama ini, dan menelorkan pertanyaan yang buatku sulit. Kenapa seni itu membunuh? jika seni itu buruk, kenapa dunia hanya bisa berputar melalui seni?
Si bapak tukang packing ini ternya seorang lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Jogja. Kotanya orang seni dan tempatnya para pakar seni sejak sebelum masehi bahkan. Buktinya, candi borobudur mewakili satu keajaiban dari 7 keajaiban dunia. Letaknya kebetulah tak jauh dari kota istimewa itu.
Perjalanan seninya sebenarnya bukanlah semata diawali dari ASRi, sejak muda, beliau aktif dalam berbagai acara seni, oh iya, beliau mendalami lukis, pahat patung dan sejenisnya. Sejak di padang, aktivitasnya menciptakan karya tak lepas dari bakatnya yang sudah mendarah daging sejak jecil. Ia membuat berbagai lukisan dan patung yang juga ikut dipamerkan bersama banyak seniman ranah minang ini. kemudian untung tak dapat ditolak, dia memperoleh beasiswa dari pemerintah untuk melanjutkan sekolahnya di ASRI. Namun, beasiswa tinggallah beasiswa, orang tua yang kurang mampu masih menjadi ganjalan karena bagaimana pun sekolah juga butuh keperluan sehari2. Berbekal tekat yang kuat, pada akhirnya ia bisa menginjak tanah jawa dengan mengorbankan lukisan dan patung2 karyanya yang dijual murah.
Maka mulailah perjalanan seni itu menjadi bagian terindah dalam hidupnya. Jawa masih menyisakan tempat baginya dan karya2 nya untuk bernafas dan menggeliat lincah. "Dulu ketika masih di ASRI, saya sering ikutan lomba2, pameran dan ketemu sama seniman dan pelukis hebat." kenangnya seolah masa itu masih menari dalam ingatannya. "bahkan dengan penulis novel itu!" sambil menunjuk sebuah novel yang sedang kubawa ini.
Tentu saja aku menjadi lebih aneh lagi. orang ini tak mengada ada.
katanya lagi, penulis itu tinggal tak jauh juga dari tempatku tinggal, entah nama tempatnya aku sudah lupa lg. Tapi yang jelas, ia tau jika penulis "Aku, buku dan sepotong sajak cinta" ini adalah bukan penulis biasa
" Dia seorang seniman idealis yang pernah kujumpai, pawakannya kurus dan selalu naik sepeda onthel. Dia orangnya agak cuek tapi kalo berdebat, matilah lawannya dengan argumennya yang memikat dan penuh isi" si bapak tukang packing kayu ini menceritakan dengan nada tinggi yang seolah dia sangat mengenalnya.
Dan anehnya, semua paparannya tentang penulis ini memanglah demikian adanya, aku memahaminya karena aku membaca ceritanya yang miris itu sebagai tokoh nyata dalam novelnya sendiri. Ia menceritakan dirinya dan idealismenya tentang buku, tentang tulisan, dan banyak hal tentang idealisme yang tak laku di negeri ini.
Mungkin konteksnya tak jauh apa yang dialami oleh bapak tukang paking kayu di kantorku ini. Dan kenapa aku bisa merasakan semua itu, karena aku juga mengalami nasib yang sama dengan mereka. Bahwa aku menjauh dari seni dan bekerja di bidang lain, Logistik!!
bedanya, si bapak tukang Paking itu kalah dengan desakan orang tuanya kemudian pulang ke padang dan menjadi buruh seadanya. Kemudian si penulis itu kalah dengan lingkungan yang selalu menepiskannya dari seni dan tulisan, Sedang aku, kalah oleh ketidakmampuanku memulai seni itu sendiri.
Mungkin dari ketiga tokoh di atas, akulah yang terparah, belum apa2 sudah taklhuk pada bayangan masa depan yang entah. Dan parahnya, sebenarnya dalam diriku ini selalu ada gambaran kesuksesan dija aku lebih serius dan fokus pada seni. Apa karena aku pobi dengan kalimat "Seni itu Membunuh!!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar